Archive for religi islami

Al-Kitab, Dasar Hukum Pertama (Bag.3)

4. Pelaksanaan Hukum-Hukum dalam Al-Qur’an (1)

Hukum-hukum yang dalam Al-Qur’an diberlakukan kepada manusia dengan dua jalan, yaitu:
“Thalab” yang berarti “tuntut”, yang dimaksud adalah tuntutan untuk mengerjakan dan tuntutan untuk meninggalkan.
“Takhyir” yang berarti “pilih” yang dimaksud adalah manusia boleh memilih antara mengerjakannya atau meninggalkannya.

Hukum yang bersifat tuntutan untuk mengerjakan.

Di dalam Al-Qur’an ada beberapa cara untuk menyampaikan tuntutan agar manusia mengerjakan suatu hukum syari’at

a. Menyuruh dengan perintah yang jelas, misal:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى

“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian untuk berbuat adil, dan berbuat kebaikan, dan memberi kepada kerabat.” (An-Nahl ayat 90)

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تُؤَدُّوا الْأَمَانَاتِ إِلَى أَهْلِهَا وَإِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ أَنْ تَحْكُمُوا بِالْعَدْلِ

“Sesungguhnya Allah memerintahkan kalian supaya menunaikan amanat kepada ahlinya, dan apabila kalian memberikan hukum di antara manusia hendaklah kalian menghukumi dengan adil.” (An-Nisa ayat 58)

b. Memberitahukan bahwa perbuatan itu diwajibkan atas orang yang diseru, misal:

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى

“Telah diwajibkan atas kalian meng-qishash orang yang membunuh.” (Al-Baqarah ayat 178)

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ

“Telah diwajibkan atas kalian shaum sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian.” (Al-Baqarah ayat 183)

إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا

“Sesungguhnya shalat itu bagi orang-orang yang beriman adalah kewajiban yang telah ditentukan waktunya.” (An-Nisa ayat 103)

c. Memberitahukan bahwa perbuatan itu diwajibkan atas umumnya manusia atau segolongan dari umat manusia, misal:

وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلًا

“Dan karena Allah telah mewajibkan atas manusia pergi ke rumah itu (berhaji), siapa saja yang mampu berjalan kepadanya.” (Ali ‘Imran ayat 97)

d. Membebankan perbuatan atas orang yang dituntut mengerjakannya, misal:

وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ

“Dan wanita yang ditalak itu (harus) menanti tiga kali suci.” (Al-Baqarah ayat 228)

Cara seperti ini kadang diikuti dengan tuntutan yang agak keras dan kadang pula dengan tuntutan yang tidak keras, seperti:

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan ibu-ibu yang diceraikan suaminya itu wajib menyusukan anak-anak mereka selama dua tahun yang sempurna, yaitu bagi mereka yang mau meyempurnakan penyusuan itu. Tetapi wajib bagi bapak-bapak dari anak-anak itu memberi makanan dan pakaian bagi ibu-ibu anaknya dengan cara yang patut.” (Al-Baqarah ayat 233)

e. Tuntutan disampaikan dengan fi’il amr (kata perintah) atau fi’il mudhari yang disertai huruf lam amr,misal:

حَافِظُوا عَلَى الصَّلَوَاتِ وَالصَّلَاةِ الْوُسْطَى وَقُومُوا لِلَّهِ قَانِتِينَ

“Peliharalah shalat dan shalat wustha, dan berdirilah karena Allah dengan khusyu.” (Al-Baqarah ayat 238)

ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ

“Kemudian hendaklah mereka membuangkan segala kotoran mereka, dan hendaklah mereka menyempurnakan nadzar-nadzar mereka, dan hendaklah mereka berthawaf (mengelilingi) baitil ‘atiq.” (Al-Hajj ayat 29)

f. Menyebutkan dengan tegas dengan perkataan fardlu, misal:

قَدْ عَلِمْنَا مَا فَرَضْنَا عَلَيْهِمْ فِي أَزْوَاجِهِمْ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ

“Sesungguhnya Kami sudah mengetahui apa-apa yang sudah kami fardlu-kan atas mereka pada isteri-isteri dan hamba-hamba mereka.” (Al-Ahzab ayat 50)

g. Perbuatan tersebut disertakan dengan kata kebaikan, misal:

وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْيَتَامَى قُلْ إِصْلَاحٌ لَهُمْ خَيْرٌ

“Dan mereka bertanya kepadamu tentang anak-anak yatim. Katakanlah bahwa berbuat baik kepada mereka itu lebih baik (kebaikan).” (Al-Baqarah ayat 220)

h. Perbuatan tersebut disertai perjanjian (dengan Allah), misal:

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً

“Siapa saja yang mau meminjamkan kepada Allah suatu pinjaman yang baik. maka Dia melipat gandakan baginya (balasan) yang banyak.” (Al-Baqarah ayat 245)

i. Perbuatan tersebut diikuti dengan sifat birr (perbuatan baik) atau yang berhubungan dengan birr, misal:

وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آَمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآَخِرِ

“Akan tetapi kebaikan itu adalah orang yang yang beriman kepada Allah dan hari akhir…” (Al-Baqarah ayat 177)

وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى

“Tetapi kebaikan itu adalah orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah ayat 189)

لَنْ تَنَالُوا الْبِرَّ حَتَّى تُنْفِقُوا مِمَّا تُحِبُّونَ

“Tidak akan kamu peroleh kebaikan itu hingga kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (Ali ‘Imran ayat 92)

j. Pada beberapa ayat (tidak semua), perbuatan tersebut adalah jawaban dari syarat, misal:

فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ بِهِ أَذًى مِنْ رَأْسِهِ فَفِدْيَةٌ مِنْ صِيَامٍ أَوْ صَدَقَةٍ أَوْ نُسُكٍ

“Jika ada di antaramu yang sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), maka wajiblah atasnya berfidyah, yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban.” (Al-Baqarah ayat 196)

Al-Kitab, Dasar Hukum Pertama (Bag.2)

2. Karakteristik Hukum Syari’at dalam Al-Qur’an

Al-Qur’an telah menjelaskan bahwa ia diturunkan untuk memperbaiki keadaan umat manusia. Maka di dalamnya berisi perintah dan larangan, sebagaimana disebutkan beberapa ayat Al-Qur’an, diantaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala :

يَأْمُرُهُمْ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَاهُمْ عَنِ الْمُنْكَرِ وَيُحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَائِثَ

“Dia memerintahkan manusia untuk berbuat kebaikan dan melarang mereka dari perbuatan yang tidak baik, Dia menghalalkan bagi mereka hal yang baik dan mengharamkan atas mereka hal yang buruk.” (Al-A’raf ayat 157)

Hukum-hukum syari’at dalam Al-Qur’an mempunyai karakteristik  khas yang didasarkan pada tiga asas, yaitu :

  1. Meniadakan yang berat (sukar).
  2. Meminimalkan (menyedikitkan) beban.
  3. Berangsur-angsur dalam mendatangkan hukum.

Meniadakan yang Sukar

Allah adalah Zat yang Maha Pengasih dan Penyayang, karenanya Dia selalu menginginkan kemudahan dan keringanan kepada hamba-hamba-Nya.

مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ

“Allah tidaklah menghendaki menjadikan kesempitan atas kamu.” (Al-Maidah ayat 6)

وَيَضَعُ عَنْهُمْ إِصْرَهُمْ وَالْأَغْلَالَ الَّتِي كَانَتْ عَلَيْهِمْ

“Dan Dia mengangkat dari mereka itu keberatan-keberatan mereka dan belenggu-belenggu atas mereka.” (Al-A’raf ayat 157)

وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

“Dan Dia tidak menjadikan atas kamu pada agama itu kesempitan.” (Al-Hajj ayat 78)

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagi kamu dan tidak menghendaki kesukaran bagi kamu.” (Al-Baqarah ayat 185)

Menyedikitkan Beban

Buah dari meniadakan kesukaran sudah pasti adalah sedikitnya beban, karena jika beban semakin banyak maka sudah tentu akan terasa semakin berat dan sukar. Allah-lah yang menciptakan manusia, maka Dia juga mengetahui seberapa besar kemampuan manusia sehingga Dia tidak akan membebani manusia di luar kemampuannya.

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” (Al-Baqarah ayat 286)

Dengan sedikitnya beban, manusia akan memiliki waktu lebih banyak untuk mempelajari kandungan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Karena itu tidak boleh bagi kita mencari-cari sesuatu yang tidak diterangkan oleh Allah dan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam karena hanya akan menambah beban dan menghabiskan waktu.

Berangsur-angsur Mendatangkan Hukum

Makna dari berangsur-angsur mendatangkan hukum adalah: Allah subhanahu wa ta’ala tidak mendatangkan seluruh hukum-Nya sekaligus, akan tetapi berangsur sedikit demi sedikit dari satu hukum ke hukum lainnya. Dan inilah bukti bahwa Allah itu Maha Bijaksana, Dia membimbing manusia untuk melaksanakan syari’at-Nya sesuai tingkat kesiapan dan keilmuan hamba-Nya. Contoh yang paling terkenal dalam masalah ini adalah tentang kisah pengharaman khamr dan judi. Dan begitu pula hukum-hukum yang lain dalam Al-Qur’an diturunkan bagi umat Islam secara berangsur.

3. Al-Qur’an Hujjah Sepanjang Masa

Al-Qur’an itu dasar agama Islam, ia adalah tali Allah yang kokoh yang wajib dipegang teguh. Al-Qur’an adalah tali tempat berpegang dan bergantung umat Islam di setiap tempat, segala keadaan, dan setiap waktu.

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا

“Dan berpeganglah kamu dengan tali Allah dan janganlah kamu bercerai-berai.” (Ali Imran ayat 103)

Al-Qur’an dan hukum-hukum syari’at yang terkandung di dalamnya adalah hujjah utama umat Islam yang akan berlaku sampai hari akhir. Meskipun ada perbedaan di kalangan ulama tentang apakah seluruh ayat Al-Qur’an hukumnya tetap berlaku atau ada ayat-ayat yang secara hukum sudah dihapuskan (mansukh) oleh ayat lain atau oleh keterangan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagian menyatakan bahwa tidak ada nasikh mansukh dalam Al-Qur’an sedangkan yang lainnya menyatakan bahwa ada nasikh mansukh dalam Al-Qur’an. Wallahu a’lam sepertinya pendapat yang rajih adalah tentang adanya nasikh mansukh dalam Al-Qur’an, berdasarkan firman Allah:

مَا نَنسَخْ مِنْ آيَةٍ أَوْ نُنسِهَا نَأْتِ بِخَيْرٍ مّنْهَا أَوْ مِثْلِهَا أَلَمْ تَعْلَمْ أَنّ اللّهَ عَلَىَ كُلّ شَيْءٍ قَدِيرٌ

”Ayat mana saja yang Kami nasakh-kan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-Baqarah ayat 106)

Al-Kitab, Dasar Hukum Pertama (Bag.1)

1. Definisi Al-Kitab

Yang dimaksud dengan Al-Kitab di sini adalah Al-Qur’an. Ummat ini telah bersepakat bahwa diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dengan membawa sebuah kitab yang diturunkan kepadanya dengan bahasa Arab dan dinamai Al-Qur’an.

A. Arti Secara Bahasa

Al-Kitab secara bahasa terambil dari kata kerja “kataba” yang artinya : “(dia telah) menulis”. Maka Kitab itu berarti “tulisan”. Maksudnya, agar ia tertulis atau tercatat (dalam mushhaf) oleh seluruh manusia, khususnya kaum muslimin.

ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ

“Kitab itu, tidak ada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Baqarah ayat 2)

Adapun Al-Qur’an, ia terambil dari kata kerja “qara-a” yang artinya : “(dia telah) membaca”. Jadi, makna dari Al-Qur’an adalah “bacaan”. Maksudnya adalah ia menjadi bacaan atau senantiasa dibaca oleh seluruh manusia, khususnya kaum muslimin.

إِنَّ هَذَا الْقُرْآَنَ يَهْدِي لِلَّتِي هِيَ أَقْوَمُ

“Sesungguhnya Al-Qur’an ini menunjukkan ke jalan yang lebih lurus.” (Al-Isra ayat 9)

B. Arti Menurut Istilah Syari’at

Para ulama ahli ushul telah memberikan definisi yang bermacam-macam mengenai pengertian Al-Qur’an. Dari pengertian-pengertian itu bisa kita rangkum sebagai berikut : “Al-Kitab (Al-Qur’an) adalah Kalamullah (Firman Allah) yang merupakan sifat dari Allah  (bukan makhluk), disampaikan (diturunkan) kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bahasa Arab, kemudian dituliskan ke dalam mushhaf, diawali dengan surat Al-Fatihah diakhiri oleh surat An-Naas, dinukilkan kepada kita secara mutawatir, tidak dapat diragukan lagi kebenarannya, diturunkan untuk diambil pelajarannya,  menjadi petunjuk bagi manusia, dan membacanya adalah ibadah.”

« Previous entries